Netralitas Aparatur Sipil Negara
(ASN) merupakan hal yang perlu terus dijaga dan diawasi, agar Pemilu/Pemilihan
dapat berjalan secara jujur (fairplay) dan adil antara calon yang memiliki
kekuasaan dengan calon yang tidak memiliki relasi kuasa dilingkungan birokrasi
pemerintahan. Netralisasi Birokrasi atau ASN muncul pada tahun 1955
ketika pemilu pertama di Indonesia terjadi yang menggunakan system parlementer.
Ketika
Orde Baru yang menggunakan sistem presidensial, ASN dikooptasi dan dimobilisasi
untuk kepentingan rezim penguasa. Begitu juga ketika reformasi terjadi pada
tahun 1998 menjadi titik perubahan sistem di Indonesia melalui amandemen UUD
1945, hingga saat ini netralitas ASN dari intervensi partai politik dan
pemerintah belum sepenuhnya terwujud.
Hingga saat ini netralitass ASN menjadi isu yang tidak pernah selesai dan menguat ketika terjadi pemilihan umum. Berdasarkan Data Pengawasan Netralitas ASN tahun 2019 dan 2020 KASN dan Bawaslu mencatat terdapat 412 pengaduan yang diterima. Terdapat 528 ASN yang melanggar dimana 386 masuk dalam proses yang menjadi rekomendasi KASN. Pada tahun 2020 diprediksi pelanggaran yang dilakukan oleh ASN meningkat yang dihitung hingga bulan juni pelanggaran netralitas ASN mencapai 369 orang. Kesadaran yang kuat dari setiap ASN tentang pentingnya perilaku netralitas diharapkan menjadi bekal untuk menghindari perilaku dan pelanggaran tersebut. Perubahan tersebut tidak akan terjadi tanpa kemauan dan kesadaran yang kuat tentang netralitas ASN. Oleh karena itu setiap ASN harus dibekali dengan pemahaman yang benar dan komprehensif tentang netraltias ASN. Oleh karena itu setiap ASN harus dibekali dengan pemahaman yang benar komprehensif tentang netralitas ASN. Hal ini didasari pemerintahan akan kuat dan menjalankan birokrasi yang baik jika ASN bersikap netral dan tidak terjebak kepentingan politik pragmatis jangka pendek.
Ketika ASN bersikap tidak netral, dikhawatirkan lebih mengutamakan pelayanan kepada kelompok maupun afiliasi politiknya. Munculnya kesenjangandalam lingkup ASN, birokrasi modern adalah birikrasi yang mengedepankan marit system sebagai manajemen kepegawaian yang menekankan aspek pertimbangan kompetensi dasar bagi calon pegawai yang diangkat, ditetapkan, dipromosikan dan dipensiunkan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Setidaknya terdapat enam poin yang menjadi indikator dari merit system. Birokrasi berfungsi sebagai alat pengendali masyarakat, terlalu banyak political appointment pada jabatan karir birokrasi dan munculnya birokrasi yang bersifat partisan. netralitas ASN sebagai keadaan dan sikap netral, dalam arti tidak memihak, atau bebas. Hal ini selaras dengan pendapat Eko Prasojo dimana netralitas sebagai salah satu asas penting dalam penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN.
Asas Netralitas ASN
ini berarti bahwa setiap pegawai ASN tidak berpiha dari segala bentuk pengaruh
manapun dan tidak memihak kepada siapaun. Pasal 87 ayat 4 huruf b menyatakan
bahwa menjadi anggota/pengurus partai politik. Pasal 119 123 ayat 3,
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XIII/2014 Tanggal 6 Juli
2015, “PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota wajib menyatakan
pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak ditetapkan sebagai calon
peserta pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil
Walikota” PNS yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut dijatuhi sanksi
hukuman disiplin.
Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemiliihan Gubernur, Bupati dan
Walikota Menjadi Undang-Undang. Pasal 70 ayat 1 huruf b Pasangan calon dilarang
melibatkan Aparatur Sipil Negara, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan Anggota Tentara Nasional Indonesia. - Pasal 70 ayat 1 huruf c Pasangan
calon dilarang melibatkan kepala desa atau sebutan lain/lurah dan perangkat
desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan. - Pasal 71 ayat 1 Pejabat Negara,
Pejabat Daerah, Pejabat Aparatur Sipil Negara, Anggota Tni/Polri, Dan Kepala
Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon - Pasal 71 ayat 2
Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Walikota atau Wakil
Walikota dilarang melakukan penggantian Pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal
penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat
persetujuan tertulis dari menteri. - Pasal 71 ayat 3 Gubernur atau Wakil Gubernur,
Bupati atau Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan
kewenangan program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu
pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6
(enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan
pasangan calon terpilih. - Pasal 71 ayat 4 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
pasal 71 ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur
atau Penjabat Bupati/Walikota
PP Nomor 42 Tahun 2004
tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik PNS. Maka PNNS dilarang melakukan
perbuatan yang mengarah pada salah satu calon atau perbuatan yang mengidekasikan
terlibat dalam politik praktis dengan partai politik, PNS dilarang melakukan
pendekatan terhadap partai politik terkait rencana pengusulan dirinya ataupun
orang lain sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Berdasarkan
Pasal 15 ayat (1), menyatakan bahwa terhadap pelanggaran tersebut pada angka 1
dikenakan sanksi moral. - Berdasarkan Pasal 16, menyatakan bahwa atas
rekomendasi Majelis Kode Etik (MKE) PNS yang melakukan pelanggaran kode etik
selain dikenakan sanksi moral, dapat dikenakan tindakan administratif sesuai
dengan peraturan perundang- undangan.