KRONOLOGIS TERKAIT PENETAPAN TARGET TAHUNAN UNTUK RATIO PASANGAN BER AKTA NIKAH TAHUN 2023
1. Sejarah Pencatatan Sipil
Betapapun adanya beragam pengertian dan penafsiran
tentang peran dan lingkup kegiatan pencatatan sipil. Bahwa disamping masih
sangat sedikitnya tulisan dan kajian yang meneliti tentang sejarah perkembangan
catatan sipil di Indonesia, arti penting penyusuran riwayat lembaga ini, adalah
karena fungsi yang melekat pada lembaga ini berkaitan dengan hak-hak
keperdataan seseorang dalam menetapkan status sipil tentang dirinya serta
kedudukannya dalam keluarga, maupun sebagai anggota masyarakat. Demikian juga
dilihat dari sisi kepentingan pemerintah, untuk mendapatkan data dan informasi
tentang penduduk (kejadian vital) sebagai dasar untuk memadukan program sektor
dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
Sekalipun lembaga yang awalnya dikenal dengan nama
Burgelijke Stand (BS) oleh pemerintahan kolonial dan kemudian diambil alih dan
dilanjutkan kegiatannya oleh pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
belum menunjukan keterkaitannya dengan penyusunan statistik penduduk, namun
oleh karena sifat pelayanannya yang menyentuh kebutuhan setiap individu,
dilakukan secara permanen dan berkesinambungan, maka peran dan nilai yang
diemban oleh lembaga ini, tidak bisa diabaikan dengan kepentingan yang
berhubungan dengan penyediaan data/informasi mengenai penduduk.
Catatan riwayat Pencatatan Sipil Jakarta, adalah
sebuah upaya untuk meninggalkan catatan perkembangan catatan sipil sejak awal
keberadaannya sampai keadaannya seperti sekarang ini. Pembagian per periode
yang ada didalamnya, lebih ditekankan dari sisi perkembangan kebijakan yang
menonjol dan mempengaruhi kegiatan lembaga ini.
A. Periode Pra Kemerdekaan Sampai Dengan Tahun 1945
Pada awal abad XIX, kota Batavia (Jakarta)
mengalami perkembangan dan perubahan yang pesat terutama di bidang Pemerintahan
Kota, Gubernur Jenderal Daendels yang diangkat pada tahun 1807, berkeinginan
menjadikan Batavia menjadi Ibukota yang dapat dibanggakan, beberapa pembangunan
kota dilakukannya yaitu antara lain Lapangan Parade “Water looplein” (Lapangan
Banteng) dan Lapangan Latihan “Koninsplein” (Lapangan Gambir/Monas), Gedung
Kesenian, Gereja Kathedral (dibangun Daendels Tahun 1829 kemudian runtuh pada
tahun 1890 dan dibangun kembali Tahun 1898 sampai keadaannya yang sekarang
ini). Gereja Immanuel dan Gedung Mahkamah Agung adalah beberapa karya dari
Gubernur Jenderal Daendels.
Pembangunan Kota yang dilakukan Daendels, tidak
lepas kaitannya dengan upayanya mereorganisasi Pemerintah Kota dan salah satu
kegiatannya dalam membangun Pemerintah Kota termasuk penyelenggaraan pencatatan
sipil yang pada waktu itu disebut Burgerlijk Stand (BS).
Jika kita bertanya kapan sebenarnya kegiatan
pencatatan sipil itu diadakan oleh Pemerintah Kolonial belanda, ini hal yang
menarik. Dokumen akta catatan sipil tertua yang saat ini tersimpan pada Kantor
Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta bertahun 1829. Dengan data ini benarkah
penyelenggaraan pencatatan sipil itu di Batavia (Jakarta) baru ada tahun 1829?
dan apakah Batavia adalah wilayah/daerah pertama yang memulai kegiatan
pencatatan sipil khususnya bagi warga negara Belanda?
Berdasarkan dokumen pencatatan sipil (Bergelijke
Stand) yang tersimpan pada Arsip Nasional, terdapat beberapa dokumen yakni:
Doopboek, Kerk (Gereja), Geboorte (Kelahiran), Trouwbrieven (surat
nikah/kawin), Naturalisatie (naturalisasi) yang tercatat bertahun 1623 sampai
dengan tahun 1866. Adapun daerah atau kota asal dokumen tersebut adalah:
Batavia, Java, Semarang, Pasoeroean, Soerabaya, Makasar, Ternate, Ambonia,
Mester Cornelis, Benkoelen, Banjarmasin, Celebes, Gorontalo, Menado, Timor.
Memperhatikan daerah/kota yang memiliki dokumen
pencatatan sipil di atas, Batavia yang pada waktu itu meliputi daerah yang lebih
luas dari Jakarta sekarang, yakni meliputi daerah yang sekarang masuk dalam
wilayah Banten sampai ke wilayah Cirebon (daerah pesisir utara), termasuk
daerah/kota yang awal diadakan.
Disamping dokumen BS juga terdapat dokumen
223Wees-en Boedelkamers224 yakni dokumen tentang waris dan hak waris.
Lembaganya adalah 223Wees Bkamer224 atau Balai Harta Peninggalan. Lembaga ini
berfungsi mengurus tentang waris dan ahli waris yang berkaitan dengan hak
negara. Dokumen yang tersimpan di Arsip Nasional ini tercatat mulai tahun 1851
dan terus berlangsung sampai dengan tahun 1953. Adapun daerah/kota asal dokumen
ini adalah: Batam, Kerawang, Priangan, Cirebon, Majalengka, Semarang, malang,
lampung, Palembang, Bengkulu, Bangka, Belitung, riau, Sumatera Utara, Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan.
Dokumen 223Wees-en Boedelkamers224 meliputi: acta
boedelbeschchrijving Acquit in de charge, Ofrichting van naamlooze, register
testamen, register huwelijken en stergevallen, dan register nalateenschappen
Penyelenggaraan BS pada waktu itu didasarkan kepada
peraturan perundang-undangan Negeri Belanda (asas konkordansi) dan hanya
berlaku bagi Warga Negara Belanda, Eropa dan Amerika.
Dokumen-dokumen pada Arsip Nasional di atas,
menegaskan bahwa penyelenggaraan pencatatan sipil di Hindia Belanda, telah
dilaksanakan sejak tahun 1623. Namun pertanyaannya siapa atau lembaga apa yang
melaksanakan tugas pencatatan sipil tersebut.
Penyelenggaraan Catatan Sipil di Negeri Belanda
sendiri mulai dilaksanakan oleh pemerintahan Kotapraja pada akhir abad ke 18
melalui Undang Undang Kotapraja tahun 1792, Pendeta/gereja dilarang melakukan
pendaftaran tersebut. Undang-undang ini bersumber dari Perancis yang pada masa
itu menguasai Belanda. Di Perancis penyelenggaraan catatan sipil diatur oleh
Undang-undang tanggal 20 September 1772 yang menegaskan Pemerintahan Kotapraja
ditugaskan mengadakan daftar-daftar untuk mencatat kelahiran, perkawinan dan
kematian Warga Kotapraja itu, sedangkan badan-badan atau orang-orang lain
dilarang melakukan pelayanan itu. Sebelumnya di negara-negara Eropa daftar
semacam itu sudah ada dan dilaksanakan oleh Pendeta/Gereja.
Dengan demikian diperkirakan bahwa penyelenggaraan
pendaftaran kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian telah dilaksanakan
oleh para pendeta/Gereja di Hindia Belanda sejalan dengan yang berlaku di
Belanda pada kurun waktu itu dan terus berlangsung sampai dengan akhir abad ke
18 dan melalui Undang Undang Kotapraja tahun 1792 Pendeta/gereja dilarang
melakukan pendaftaran tersebut.
Demikian juga penyelenggaraan pencatatan sipil di
Batavia, jika pelarangan terhadap para Pendeta/gereja juga diterapkan pada
tahun 1792 (asas Konkordansi), maka diperkirakan dokumen yang tersimpan pada
Kantor Catatan Sipil yakni tertua tahun 1829 terdapat register akta catatan
sipil (BS) antara tahun 1623 sampai dengan tahun 1792 (periode gereja) dan
dokumen mulai tahun 1792 sampai dengan tahun 1828 (periode kotapraja). saat ini
tersimpan pada Arsip Nasional.
Bahwa gereja/pendeta melaksanakan pencatatan sipil
di Batavia, dapat diketahui melalui monumen/pahatan nama-nama pendeta yang
melaksanakan tugas catatan sipil berada di dinding gedung Gereja Immanuel (Jl.
Pejambon/Medan merdeka Timur).
Besarnya tuntutan pelayanan BS dari warga Belanda
dan Eropa yang tinggal diwilayah Hindia Belanda mendorong keinginan adanya
perundang-undangan Catatan Sipil yang berlaku khusus di seluruh wilayah
Pemerintahan Hindia Belanda.
Ordonansi pencatatan sipil yang pertama dibuat
untuk daerah Hindia Belanda, diberlakukan pada tahun 1850, dengan ditetapkannya
ordonantie Catatan Sipil bagi Golongan Eropa di Hindia Belanda, yaitu Reglement
tentang hal daftar-daftar pencatatan sipil bagi Bangsa Eropa dan juga Indonesia
Asli (Bumi Putera) dan mereka yang dipersamakan dengan bangsa itu (Eropa) yaitu
mereka yang menundukkan diri menurut ketentuan perundang-undangan kepada
seluruhnya dengan sukarela kepada hukum sipil (perdata) dan hukum dagang yang
diterapkan bagi Bangsa Eropa (Staatsblad Tahun 1849 Nomor 25).
Terbatasnya pelayanan Catatan Sipil tersebut adalah
sejalan dengan politik Pemerintah Hindia Belanda yang membagi dan menggolongkan
penduduk dan kemudian bagi setiap golongan penduduk berlaku hukum yang berbeda.
Didasari ketentuan Pasal 131 dan 163 IS (Indische Staatsregeling) ada 3 golongan
penduduk yaitu Golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi :
(1) Apabila peraturan-peraturan dari undang-undang
ini dari peraturan-peraturan umum dan peraturan-peraturan lain,
reglement-reglement, peraturan-peraturan polisi dan peraturan-peraturan administrasi
membedakan antar Golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing, untuk mereka
berlaku peraturan-peraturan yang berikut.
(2) Pada peraturan-peraturan Golongan Eropa tunduk
:
1. Semua orang Belanda.
2. Semua orang, tak termasuk dalam golongan nomor 1
yang berasal dari Eropa.
3. Semua orang Jepang dan selanjutnya semua orang
yang berasal dari lain tempat, tak termasuk golongan nomor 1 dan 2, untuk siapa
di negerinya berlaku hukum keluarga yang dalam pokoknya berdasar pada azas-azas
yang sama dengan azas-azas Belanda.
4. Anak-anak yang sah atau yang diakui secara sah
menurut undang-undang yang dilahirkan di Indonesia dan turunan-turunan lanjut
dari orang-orang yang dimaksudkan dibawah nomor 2 dan 3.
(3) Pada peraturan-peraturan untuk Golongan
Indonesia tunduk kecuali kedudukan hukum dari Golongan Indonesia Nasrani yang
ditetapkan dengan ordonansi semua orang yang termasuk dalam Golongan Indoesia
Asli di Indonesia dan tidak telah masuk dalam Golongan Penduduk lain dari
Golongan Indonesia Asli dan sekarang telah mempersatukan diri dengan Golongan
Indonesia Asli.
(4) Pada peraturan-peraturan untuk Golongan Timur
Asing tunduk kecuali mereka yang beragama Nasrani yang akan ditetapkan dengan
ordonansi, semua orang yang tak termasuk golongan yang dimaksudkan oleh ayat 2
atau 3 dari pasal ini.
(5) Gubernur Jenderal berhak selaras dengan “Read
van Indonesie” untuk menyatakan peraturan- peraturan yang berlaku bagi Golongan
Eropa juga berlaku bagi orang, untuk siapa sebetulnya peraturan-peraturan itu
tidak berlaku, untuk siapa sebetulnya. Pernyataan berlaku tersebut berlaku
dengan sendirinya untuk anak-anak sah atau yang diakui menurut undang-undang
dan yang dilahirkan setelah itu serta turunan-turunan lanjutan dari yang
bersangkutan.
Pedoman politik bagi Pemerintah Hindia Belanda
terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam Pasal 131 IS yang pada pokoknya
sebagai berikut:
(1) Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum
pidana beserta hukum acara perdata dan pidana) harus diletakkan dalam kitab
undang-undang, yaitu di “kodifikasikan”
(2) Untuk Golongan Bangsa Eropa untuk itu harus
dianut perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi).
(3) Untuk Golongan Bangsa Indonesia Asli dan Timur
Asing, jika ternyata bahwa kebutuhan kemasyarakatan, mereka menghendaki nya,
dapatlah peraturan-peraturan untuk Bangsa Eropa “dinyatakan berlaku” bagi
mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan
membuat suatu peraturan bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan
mana boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau
kebutuhan masyarakat mereka (ayat 2).
(4) Orang Indonesia dan Orang Timur Asing sepanjang
mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan Bangsa Eropa,
diperbolehkan “menundukkan diri” (onderwer pen) pada hukum yang berlaku untuk
Bangsa Eropa, penundukan diri mana boleh dilakukan baik secara umum maupun
secara khusus hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat7)
(5) Sebelumnya hukum untuk Bangsa Indonesia ditulis
dalam undang-undang, maka bagi merka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang
berlaku bagi mereka yaitu hukum adat (ayat 6).
Hal penundukkan diri diperjelas dengan adanya dari
Staatsblad 1917 No.12 mengenai kemungkinan menudukkan diri pada hukum Eropa,
dalam hal ini ada 4 macam penundukkan diri yaitu :
(1) Penundukkan pada seluruh hukum perdata Eropa.
(2) Penundukkan diri pada sebagian hukum perdata
Eropa.
(3) Penundukkan mengenai suatu perbuatan hukum
tertentu.
(4) Penundukkan secara diam-diam yaitu menurut
Pasal 29 yang berbunyi “jika seorang Bangsa Indonesia Asli melakukan suatu
perbuatan hukum yang tidak dikenal dalam hukumnya sendiri, maka ia dianggap
secara diam-diam menundukkan dirinya pada hukum Eropa”.
Reglement tersebut dipublikasikan pada tanggal 10
Mei 1849 dalam Staatsblad tahun 1849 No.259 .
Pada akhir abad ke-19 perkembangan dunia khususnya
Eropa mengalami perubahan-perubahan yang mendasar dalam bidang politik,
pengaruh paham liberal telah mendorong pemerinthan Hindia Belanda untuk lebih
demokratis dan longgar khususnya di negara-negara jajahan. Di Negeri Belanda
sendiri paham tersebut berkembang dan dikenal sebagai pemikiran-pemikiran
“Politik Etis”. Perkembangan politik dalam negeri Belanda tersebut mendorong
dihapusnya culturstelsel dan semakin diperluasnya kesempatan kepada
pengusaha-pengusaha swasta untuk berkembang. Hal ini membawa pengaruh pula pada
kegiatan pencatatan sipil, jika tadinya pencatatan sipil itu hanya berlaku bagi
Bangsa Eropa, maka perkembangan selanjutnya mendorong diberinya kesempatan
pelayanan Catatan Sipil bagi golongan-golongan lain.
Maka pada awal abad ke-20, dikeluarkan ordonansi
tanggal 29 Mei 1917 No.130 (Staatsblad tahun 1917 No.130) yang akan
diberlakukan tanggal 1 Mei 1919 dengan Staatsblad 1919 No.81, reglement tentang
daftar-daftar pencatatan sipil bagi Bangsa Tiong Hoa.
Selanjutnya kepada Golongan Bumi Putera (Indonesia
Asli) Catatan Sipil diberlakukan pula, namun masih dibatasi kepada mereka yang
tidak termasuk rakyat dari sesuatu swapraja di Jawa dan Madura. berdasarkan
Ordonantie tanggal 15 Oktober 1920 (Staatsblad tahun 1920 No.751), mulai
berlaku tanggal 1 Januari 1928. Kemudian bagi Golongan Bumi Putera beragama
Kristen di Pulau Jawa, Madura dan Minahasa serta sebagian Keresidenan Ambon,
(Saparua dan Banda.) yang tertuang dalam staatsblad tahun 1933 no. 75 dan mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 1937.
Dalam hubungannya dengan penggolongan penduduk
seperti yang dikemukakan di atas, untuk pelaksanaan catatan sipil ditetapkan
reglement-reglement sebagai berikut :
(1) Reglement Catatan Sipil untuk Golongan Eropa
dan bagi mereka yang menurut hukum nya dipersamakan dengan hukum yang berlaku
bagi Golongan Eropa, yang diundangkan tanggal 10 Mei 1849 (Stbld.1849 No.25),
dengan judul selengkapnya “Reglement mengenai penyelenggaraan daftar-daftar
Catatan Sipil untuk orang-orang Eropa dan orang-orang yang dipersamakan dengan
mereka, yang berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang telah tunduk untuk
seluruhnya atau telah tunduk secara sukarela pada hukum perdata dan hukum
dagang yang berlaku untuk orang-orang Eropa.
(2) Reglement mengenai penyelenggaraan daftar-
daftar Catatan Sipil untuk orang-orang Tiong Hoa (Ordonansi tanggal 29 Maret
1917 ; Stbld. 1917 No.130 Jo. 1919 No.81) dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1919
untuk seluruh Wilayah Indonesia).
(3) Reglement mengenai penyelenggaraan
daftar-daftar Catatan Sipil untuk be berapa golongan penduduk Indonesia di Jawa
dan Madura, yang tidak termaduk rakyat swapraja (Ordonansi tanggal 15 Oktober
1920; Stbld.1920 No.751 Jo. Stbld.1927 No.564 dan setelah dirubah pada tahun
1926 dan 1927) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1928.
(4) Reglement Catatan Sipil orang-orang Indonesia
Nasrani (Ordonansi tanggal 15 Pebruari 1933; Stbld.1933 No.75 Jo.Stbld.1936
No.607). Nama lengkap Reglement tersebut adalah “Reglement mengenai
penyelenggaraan daftar-daftar Catatan Sipil untuk orang-orang Indonesia Nasrani
Manado, yang dikenal dibawah Minahasa dan Pulau-pulau Teun,Nila dan Serua dari
Residensi Maluku”. Menurut Stbld.1936 No.607 Reglement ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1937.
Burgerlijke Stand pada waktu itu, berada satu atap
dengan Pengadilan Negeri dan Raad van Justisi (sekarang Kejaksaan).
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut,
ditetapkanlah daftar-daftar akta catatan sipil yang berbeda untuk masing-masing
golongan, sebagai berikut :
a. Untuk Golongan Eropa dan mereka yang
dipersamakan hukumnya dengan bangsa Eropa, disediakan 5 macam daftar akta
catatan sipil :
1) Daftar kelahiran;
2) Daftar Pemberitahuan Perkawinan
3) Daftar Izin perkawinan
4) Daftar Perkawinan dan Perceraian;
5) Daftar kematian
b. Untuk Golongan Tionghoa dan Timur Asing,
disediakan 4 macam daftar akta catatan sipil :
1) Daftar-daftar kelahiran;
2) Daftar izin untuk Nikah
3) Daftar Izin perkawinan
4) Daftar-daftar Perkawinan dan Perceraian;
5) Daftar-daftar kematian
Pada perkembangannya, daftar-daftar Kelahiran
dibagi kembali dalam 4 daftar, yaitu :
(1) Daftar Umum, yaitu daftar untuk memuat segala
kelahiran yang diberitahukan kepada Pegawai Catatan Sipil, dengan tak ada suatu
pengakuan anak;
(2) Daftar Tambahan, yaitu daftar untuk memuat
segala akta yang dikirim oleh orang-orang perantara catatan sipil tentang
kelahiran-kelahiran yang diberitahukan kepada mereka;
(3) Daftar Tambahan untuk memuat segala pengakuan,
kecuali pengakuan yang dilakukan pada waktu dilakukan perkawinan;
(4) Daftar Tambahan untuk memuat segala akta-akta
lain yang menurut undang-undang harus dibukukan dalam daftar kelahiran.
Sedangkan untuk daftar Kematian dibagi lagi dalam 3
(tiga) daftar, yaitu :
(1) Daftar Umum, yaitu memuat segala kematian yang
diberitahukan kepada pegawai catatan sipil;
(2) Daftar Tambahan, untuk memuat segala akta-akta
yang dikirim oleh orang-orang perantara catatan sipil tentang kematian-kematian
yang diberitahukan kepada mereka;
(3) Daftar Tambahan untuk memuat segala akta-akta
lain yang menurut undang-undang harus didaftar dalam daftar kematian.
c. Untuk Golongan Indonesia Asli yang tinggal di
Pulau Jawa dan madura, disediakan 3 (tiga) macam daftar akta catatan sipil :
(1) Daftar kelahiran;
(2) Daftar Pemilihan Nama
(3) Daftar kematian;
Daftar-daftar untuk golongan Indonesia asli inipun
dibatasi hanya terhadap mereka yang memenuhi ketentuan :
(1) Mereka yang berhak memakai salah satu gelar
kebangsawanan Indonesia, kecuali mereka yang hanya memakai gelar “mas”
(2) Pegawai negeri yang bergaji 100 Gulden
(minimal)
(3) Opsir-opsir tentara dan Pensiunannya (minimal
berpangkat Kolonel)
(4) Semua orang yang menurut firman raja tanggal 15
September 1916 Nomor 26 (stbl. 1917 nomor 12) telah berlaku atau menundukkan
diri pada sebagian hukum privat golongan Eropa;