(0362) 25887
disdukcapil@bulelengkab.go.id
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

KRONOLOGIS TERKAIT PENETAPAN TARGET TAHUNAN UNTUK RATIO PASANGAN BER AKTA NIKAH TAHUN 2023

Admin disdukcapil | 29 September 2024 | 637 kali

KRONOLOGIS TERKAIT PENETAPAN TARGET TAHUNAN UNTUK RATIO PASANGAN BER AKTA NIKAH TAHUN 2023

1.    Sejarah Pencatatan Sipil

Betapapun adanya beragam pengertian dan penafsiran tentang peran dan lingkup kegiatan pencatatan sipil. Bahwa disamping masih sangat sedikitnya tulisan dan kajian yang meneliti tentang sejarah perkembangan catatan sipil di Indonesia, arti penting penyusuran riwayat lembaga ini, adalah karena fungsi yang melekat pada lembaga ini berkaitan dengan hak-hak keperdataan seseorang dalam menetapkan status sipil tentang dirinya serta kedudukannya dalam keluarga, maupun sebagai anggota masyarakat. Demikian juga dilihat dari sisi kepentingan pemerintah, untuk mendapatkan data dan informasi tentang penduduk (kejadian vital) sebagai dasar untuk memadukan program sektor dalam pelaksanaan pembangunan nasional.

 

Sekalipun lembaga yang awalnya dikenal dengan nama Burgelijke Stand (BS) oleh pemerintahan kolonial dan kemudian diambil alih dan dilanjutkan kegiatannya oleh pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia, belum menunjukan keterkaitannya dengan penyusunan statistik penduduk, namun oleh karena sifat pelayanannya yang menyentuh kebutuhan setiap individu, dilakukan secara permanen dan berkesinambungan, maka peran dan nilai yang diemban oleh lembaga ini, tidak bisa diabaikan dengan kepentingan yang berhubungan dengan penyediaan data/informasi mengenai penduduk.

 

Catatan riwayat Pencatatan Sipil Jakarta, adalah sebuah upaya untuk meninggalkan catatan perkembangan catatan sipil sejak awal keberadaannya sampai keadaannya seperti sekarang ini. Pembagian per periode yang ada didalamnya, lebih ditekankan dari sisi perkembangan kebijakan yang menonjol dan mempengaruhi kegiatan lembaga ini.

 

A. Periode Pra Kemerdekaan Sampai Dengan Tahun 1945

 

Pada awal abad XIX, kota Batavia (Jakarta) mengalami perkembangan dan perubahan yang pesat terutama di bidang Pemerintahan Kota, Gubernur Jenderal Daendels yang diangkat pada tahun 1807, berkeinginan menjadikan Batavia menjadi Ibukota yang dapat dibanggakan, beberapa pembangunan kota dilakukannya yaitu antara lain Lapangan Parade “Water looplein” (Lapangan Banteng) dan Lapangan Latihan “Koninsplein” (Lapangan Gambir/Monas), Gedung Kesenian, Gereja Kathedral (dibangun Daendels Tahun 1829 kemudian runtuh pada tahun 1890 dan dibangun kembali Tahun 1898 sampai keadaannya yang sekarang ini). Gereja Immanuel dan Gedung Mahkamah Agung adalah beberapa karya dari Gubernur Jenderal Daendels.

 

Pembangunan Kota yang dilakukan Daendels, tidak lepas kaitannya dengan upayanya mereorganisasi Pemerintah Kota dan salah satu kegiatannya dalam membangun Pemerintah Kota termasuk penyelenggaraan pencatatan sipil yang pada waktu itu disebut Burgerlijk Stand (BS).

 

Jika kita bertanya kapan sebenarnya kegiatan pencatatan sipil itu diadakan oleh Pemerintah Kolonial belanda, ini hal yang menarik. Dokumen akta catatan sipil tertua yang saat ini tersimpan pada Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta bertahun 1829. Dengan data ini benarkah penyelenggaraan pencatatan sipil itu di Batavia (Jakarta) baru ada tahun 1829? dan apakah Batavia adalah wilayah/daerah pertama yang memulai kegiatan pencatatan sipil khususnya bagi warga negara Belanda?

 

Berdasarkan dokumen pencatatan sipil (Bergelijke Stand) yang tersimpan pada Arsip Nasional, terdapat beberapa dokumen yakni: Doopboek, Kerk (Gereja), Geboorte (Kelahiran), Trouwbrieven (surat nikah/kawin), Naturalisatie (naturalisasi) yang tercatat bertahun 1623 sampai dengan tahun 1866. Adapun daerah atau kota asal dokumen tersebut adalah: Batavia, Java, Semarang, Pasoeroean, Soerabaya, Makasar, Ternate, Ambonia, Mester Cornelis, Benkoelen, Banjarmasin, Celebes, Gorontalo, Menado, Timor.

Memperhatikan daerah/kota yang memiliki dokumen pencatatan sipil di atas, Batavia yang pada waktu itu meliputi daerah yang lebih luas dari Jakarta sekarang, yakni meliputi daerah yang sekarang masuk dalam wilayah Banten sampai ke wilayah Cirebon (daerah pesisir utara), termasuk daerah/kota yang awal diadakan.

 

Disamping dokumen BS juga terdapat dokumen 223Wees-en Boedelkamers224 yakni dokumen tentang waris dan hak waris. Lembaganya adalah 223Wees Bkamer224 atau Balai Harta Peninggalan. Lembaga ini berfungsi mengurus tentang waris dan ahli waris yang berkaitan dengan hak negara. Dokumen yang tersimpan di Arsip Nasional ini tercatat mulai tahun 1851 dan terus berlangsung sampai dengan tahun 1953. Adapun daerah/kota asal dokumen ini adalah: Batam, Kerawang, Priangan, Cirebon, Majalengka, Semarang, malang, lampung, Palembang, Bengkulu, Bangka, Belitung, riau, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan.

 

Dokumen 223Wees-en Boedelkamers224 meliputi: acta boedelbeschchrijving Acquit in de charge, Ofrichting van naamlooze, register testamen, register huwelijken en stergevallen, dan register nalateenschappen

 

Penyelenggaraan BS pada waktu itu didasarkan kepada peraturan perundang-undangan Negeri Belanda (asas konkordansi) dan hanya berlaku bagi Warga Negara Belanda, Eropa dan Amerika.

 

Dokumen-dokumen pada Arsip Nasional di atas, menegaskan bahwa penyelenggaraan pencatatan sipil di Hindia Belanda, telah dilaksanakan sejak tahun 1623. Namun pertanyaannya siapa atau lembaga apa yang melaksanakan tugas pencatatan sipil tersebut.

 

Penyelenggaraan Catatan Sipil di Negeri Belanda sendiri mulai dilaksanakan oleh pemerintahan Kotapraja pada akhir abad ke 18 melalui Undang Undang Kotapraja tahun 1792, Pendeta/gereja dilarang melakukan pendaftaran tersebut. Undang-undang ini bersumber dari Perancis yang pada masa itu menguasai Belanda. Di Perancis penyelenggaraan catatan sipil diatur oleh Undang-undang tanggal 20 September 1772 yang menegaskan Pemerintahan Kotapraja ditugaskan mengadakan daftar-daftar untuk mencatat kelahiran, perkawinan dan kematian Warga Kotapraja itu, sedangkan badan-badan atau orang-orang lain dilarang melakukan pelayanan itu. Sebelumnya di negara-negara Eropa daftar semacam itu sudah ada dan dilaksanakan oleh Pendeta/Gereja.

Dengan demikian diperkirakan bahwa penyelenggaraan pendaftaran kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian telah dilaksanakan oleh para pendeta/Gereja di Hindia Belanda sejalan dengan yang berlaku di Belanda pada kurun waktu itu dan terus berlangsung sampai dengan akhir abad ke 18 dan melalui Undang Undang Kotapraja tahun 1792 Pendeta/gereja dilarang melakukan pendaftaran tersebut.

 

Demikian juga penyelenggaraan pencatatan sipil di Batavia, jika pelarangan terhadap para Pendeta/gereja juga diterapkan pada tahun 1792 (asas Konkordansi), maka diperkirakan dokumen yang tersimpan pada Kantor Catatan Sipil yakni tertua tahun 1829 terdapat register akta catatan sipil (BS) antara tahun 1623 sampai dengan tahun 1792 (periode gereja) dan dokumen mulai tahun 1792 sampai dengan tahun 1828 (periode kotapraja). saat ini tersimpan pada Arsip Nasional.

 

Bahwa gereja/pendeta melaksanakan pencatatan sipil di Batavia, dapat diketahui melalui monumen/pahatan nama-nama pendeta yang melaksanakan tugas catatan sipil berada di dinding gedung Gereja Immanuel (Jl. Pejambon/Medan merdeka Timur).

Besarnya tuntutan pelayanan BS dari warga Belanda dan Eropa yang tinggal diwilayah Hindia Belanda mendorong keinginan adanya perundang-undangan Catatan Sipil yang berlaku khusus di seluruh wilayah Pemerintahan Hindia Belanda.

 

Ordonansi pencatatan sipil yang pertama dibuat untuk daerah Hindia Belanda, diberlakukan pada tahun 1850, dengan ditetapkannya ordonantie Catatan Sipil bagi Golongan Eropa di Hindia Belanda, yaitu Reglement tentang hal daftar-daftar pencatatan sipil bagi Bangsa Eropa dan juga Indonesia Asli (Bumi Putera) dan mereka yang dipersamakan dengan bangsa itu (Eropa) yaitu mereka yang menundukkan diri menurut ketentuan perundang-undangan kepada seluruhnya dengan sukarela kepada hukum sipil (perdata) dan hukum dagang yang diterapkan bagi Bangsa Eropa (Staatsblad Tahun 1849 Nomor 25).

 

Terbatasnya pelayanan Catatan Sipil tersebut adalah sejalan dengan politik Pemerintah Hindia Belanda yang membagi dan menggolongkan penduduk dan kemudian bagi setiap golongan penduduk berlaku hukum yang berbeda. Didasari ketentuan Pasal 131 dan 163 IS (Indische Staatsregeling) ada 3 golongan penduduk yaitu Golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi :

 

(1) Apabila peraturan-peraturan dari undang-undang ini dari peraturan-peraturan umum dan peraturan-peraturan lain, reglement-reglement, peraturan-peraturan polisi dan peraturan-peraturan administrasi membedakan antar Golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing, untuk mereka berlaku peraturan-peraturan yang berikut.

(2) Pada peraturan-peraturan Golongan Eropa tunduk :

1. Semua orang Belanda.

2. Semua orang, tak termasuk dalam golongan nomor 1 yang berasal dari Eropa.

3. Semua orang Jepang dan selanjutnya semua orang yang berasal dari lain tempat, tak termasuk golongan nomor 1 dan 2, untuk siapa di negerinya berlaku hukum keluarga yang dalam pokoknya berdasar pada azas-azas yang sama dengan azas-azas Belanda.

4. Anak-anak yang sah atau yang diakui secara sah menurut undang-undang yang dilahirkan di Indonesia dan turunan-turunan lanjut dari orang-orang yang dimaksudkan dibawah nomor 2 dan 3.

(3) Pada peraturan-peraturan untuk Golongan Indonesia tunduk kecuali kedudukan hukum dari Golongan Indonesia Nasrani yang ditetapkan dengan ordonansi semua orang yang termasuk dalam Golongan Indoesia Asli di Indonesia dan tidak telah masuk dalam Golongan Penduduk lain dari Golongan Indonesia Asli dan sekarang telah mempersatukan diri dengan Golongan Indonesia Asli.

(4) Pada peraturan-peraturan untuk Golongan Timur Asing tunduk kecuali mereka yang beragama Nasrani yang akan ditetapkan dengan ordonansi, semua orang yang tak termasuk golongan yang dimaksudkan oleh ayat 2 atau 3 dari pasal ini.

(5) Gubernur Jenderal berhak selaras dengan “Read van Indonesie” untuk menyatakan peraturan- peraturan yang berlaku bagi Golongan Eropa juga berlaku bagi orang, untuk siapa sebetulnya peraturan-peraturan itu tidak berlaku, untuk siapa sebetulnya. Pernyataan berlaku tersebut berlaku dengan sendirinya untuk anak-anak sah atau yang diakui menurut undang-undang dan yang dilahirkan setelah itu serta turunan-turunan lanjutan dari yang bersangkutan.

 

Pedoman politik bagi Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam Pasal 131 IS yang pada pokoknya sebagai berikut:

(1) Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan pidana) harus diletakkan dalam kitab undang-undang, yaitu di “kodifikasikan”

(2) Untuk Golongan Bangsa Eropa untuk itu harus dianut perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi).

(3) Untuk Golongan Bangsa Indonesia Asli dan Timur Asing, jika ternyata bahwa kebutuhan kemasyarakatan, mereka menghendaki nya, dapatlah peraturan-peraturan untuk Bangsa Eropa “dinyatakan berlaku” bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan mana boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan masyarakat mereka (ayat 2).

(4) Orang Indonesia dan Orang Timur Asing sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan Bangsa Eropa, diperbolehkan “menundukkan diri” (onderwer pen) pada hukum yang berlaku untuk Bangsa Eropa, penundukan diri mana boleh dilakukan baik secara umum maupun secara khusus hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat7)

(5) Sebelumnya hukum untuk Bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang, maka bagi merka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka yaitu hukum adat (ayat 6).

 

Hal penundukkan diri diperjelas dengan adanya dari Staatsblad 1917 No.12 mengenai kemungkinan menudukkan diri pada hukum Eropa, dalam hal ini ada 4 macam penundukkan diri yaitu :

(1) Penundukkan pada seluruh hukum perdata Eropa.

(2) Penundukkan diri pada sebagian hukum perdata Eropa.

(3) Penundukkan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu.

(4) Penundukkan secara diam-diam yaitu menurut Pasal 29 yang berbunyi “jika seorang Bangsa Indonesia Asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal dalam hukumnya sendiri, maka ia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada hukum Eropa”.

 

Reglement tersebut dipublikasikan pada tanggal 10 Mei 1849 dalam Staatsblad tahun 1849 No.259 .

 

Pada akhir abad ke-19 perkembangan dunia khususnya Eropa mengalami perubahan-perubahan yang mendasar dalam bidang politik, pengaruh paham liberal telah mendorong pemerinthan Hindia Belanda untuk lebih demokratis dan longgar khususnya di negara-negara jajahan. Di Negeri Belanda sendiri paham tersebut berkembang dan dikenal sebagai pemikiran-pemikiran “Politik Etis”. Perkembangan politik dalam negeri Belanda tersebut mendorong dihapusnya culturstelsel dan semakin diperluasnya kesempatan kepada pengusaha-pengusaha swasta untuk berkembang. Hal ini membawa pengaruh pula pada kegiatan pencatatan sipil, jika tadinya pencatatan sipil itu hanya berlaku bagi Bangsa Eropa, maka perkembangan selanjutnya mendorong diberinya kesempatan pelayanan Catatan Sipil bagi golongan-golongan lain.

 

Maka pada awal abad ke-20, dikeluarkan ordonansi tanggal 29 Mei 1917 No.130 (Staatsblad tahun 1917 No.130) yang akan diberlakukan tanggal 1 Mei 1919 dengan Staatsblad 1919 No.81, reglement tentang daftar-daftar pencatatan sipil bagi Bangsa Tiong Hoa.

 

Selanjutnya kepada Golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) Catatan Sipil diberlakukan pula, namun masih dibatasi kepada mereka yang tidak termasuk rakyat dari sesuatu swapraja di Jawa dan Madura. berdasarkan Ordonantie tanggal 15 Oktober 1920 (Staatsblad tahun 1920 No.751), mulai berlaku tanggal 1 Januari 1928. Kemudian bagi Golongan Bumi Putera beragama Kristen di Pulau Jawa, Madura dan Minahasa serta sebagian Keresidenan Ambon, (Saparua dan Banda.) yang tertuang dalam staatsblad tahun 1933 no. 75 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1937.

 

Dalam hubungannya dengan penggolongan penduduk seperti yang dikemukakan di atas, untuk pelaksanaan catatan sipil ditetapkan reglement-reglement sebagai berikut :

(1) Reglement Catatan Sipil untuk Golongan Eropa dan bagi mereka yang menurut hukum nya dipersamakan dengan hukum yang berlaku bagi Golongan Eropa, yang diundangkan tanggal 10 Mei 1849 (Stbld.1849 No.25), dengan judul selengkapnya “Reglement mengenai penyelenggaraan daftar-daftar Catatan Sipil untuk orang-orang Eropa dan orang-orang yang dipersamakan dengan mereka, yang berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang telah tunduk untuk seluruhnya atau telah tunduk secara sukarela pada hukum perdata dan hukum dagang yang berlaku untuk orang-orang Eropa.

(2) Reglement mengenai penyelenggaraan daftar- daftar Catatan Sipil untuk orang-orang Tiong Hoa (Ordonansi tanggal 29 Maret 1917 ; Stbld. 1917 No.130 Jo. 1919 No.81) dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1919 untuk seluruh Wilayah Indonesia).

(3) Reglement mengenai penyelenggaraan daftar-daftar Catatan Sipil untuk be berapa golongan penduduk Indonesia di Jawa dan Madura, yang tidak termaduk rakyat swapraja (Ordonansi tanggal 15 Oktober 1920; Stbld.1920 No.751 Jo. Stbld.1927 No.564 dan setelah dirubah pada tahun 1926 dan 1927) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1928.

(4) Reglement Catatan Sipil orang-orang Indonesia Nasrani (Ordonansi tanggal 15 Pebruari 1933; Stbld.1933 No.75 Jo.Stbld.1936 No.607). Nama lengkap Reglement tersebut adalah “Reglement mengenai penyelenggaraan daftar-daftar Catatan Sipil untuk orang-orang Indonesia Nasrani Manado, yang dikenal dibawah Minahasa dan Pulau-pulau Teun,Nila dan Serua dari Residensi Maluku”. Menurut Stbld.1936 No.607 Reglement ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1937.

 

Burgerlijke Stand pada waktu itu, berada satu atap dengan Pengadilan Negeri dan Raad van Justisi (sekarang Kejaksaan).

 

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, ditetapkanlah daftar-daftar akta catatan sipil yang berbeda untuk masing-masing golongan, sebagai berikut :

 

a. Untuk Golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan hukumnya dengan bangsa Eropa, disediakan 5 macam daftar akta catatan sipil :

1) Daftar kelahiran;

2) Daftar Pemberitahuan Perkawinan

3) Daftar Izin perkawinan

4) Daftar Perkawinan dan Perceraian;

5) Daftar kematian

 

b. Untuk Golongan Tionghoa dan Timur Asing, disediakan 4 macam daftar akta catatan sipil :

1) Daftar-daftar kelahiran;

2) Daftar izin untuk Nikah

3) Daftar Izin perkawinan

4) Daftar-daftar Perkawinan dan Perceraian;

5) Daftar-daftar kematian

 

Pada perkembangannya, daftar-daftar Kelahiran dibagi kembali dalam 4 daftar, yaitu :

(1) Daftar Umum, yaitu daftar untuk memuat segala kelahiran yang diberitahukan kepada Pegawai Catatan Sipil, dengan tak ada suatu pengakuan anak;

(2) Daftar Tambahan, yaitu daftar untuk memuat segala akta yang dikirim oleh orang-orang perantara catatan sipil tentang kelahiran-kelahiran yang diberitahukan kepada mereka;

(3) Daftar Tambahan untuk memuat segala pengakuan, kecuali pengakuan yang dilakukan pada waktu dilakukan perkawinan;

(4) Daftar Tambahan untuk memuat segala akta-akta lain yang menurut undang-undang harus dibukukan dalam daftar kelahiran.

 

Sedangkan untuk daftar Kematian dibagi lagi dalam 3 (tiga) daftar, yaitu :

(1) Daftar Umum, yaitu memuat segala kematian yang diberitahukan kepada pegawai catatan sipil;

(2) Daftar Tambahan, untuk memuat segala akta-akta yang dikirim oleh orang-orang perantara catatan sipil tentang kematian-kematian yang diberitahukan kepada mereka;

(3) Daftar Tambahan untuk memuat segala akta-akta lain yang menurut undang-undang harus didaftar dalam daftar kematian.

 

c. Untuk Golongan Indonesia Asli yang tinggal di Pulau Jawa dan madura, disediakan 3 (tiga) macam daftar akta catatan sipil :

(1) Daftar kelahiran;

(2) Daftar Pemilihan Nama

(3) Daftar kematian;

 

Daftar-daftar untuk golongan Indonesia asli inipun dibatasi hanya terhadap mereka yang memenuhi ketentuan :

(1) Mereka yang berhak memakai salah satu gelar kebangsawanan Indonesia, kecuali mereka yang hanya memakai gelar “mas”

(2) Pegawai negeri yang bergaji 100 Gulden (minimal)

(3) Opsir-opsir tentara dan Pensiunannya (minimal berpangkat Kolonel)

(4) Semua orang yang menurut firman raja tanggal 15 September 1916 Nomor 26 (stbl. 1917 nomor 12) telah berlaku atau menundukkan diri pada sebagian hukum privat golongan Eropa;