Setiap keluarga yang hidup di dunia ini pastinya mendambakan keluarga yang selalu hidup rukun bahagia, damai dan sejahtera yang dimana hal itu merupakan tujuan dari perkawinan. Dari kehidupan suami-istri di dalam suatu ikatan perkawinan tersebut akan berakibat penting dalam masyarakat, dimana jika mereka dianugerahi keturunan. Dengan adanya keturunan, mereka bisa membentuk suatu keluarga sendiri. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia dimana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab, si istri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psikologis yang berat, yaitu kehamilan dan melahirkan yang membutuhkan pengorbanan. Kehadiran seorang anak merupakan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seorang ibu maupun keluarganya karena anak merupakan buah perkawinan dan sebagai landasan keturunan.
Anak sebagai fitrah Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapatkan perawatan sebaikbaiknya dan merupakan tunas-tunas bangsa yang akan meneruskan cita-cita bangsa, yaitu mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan Makmur. Setiap anak dapat atau mampu memikul tanggung jawabnya di masa depan, maka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara normal baik jasmani, rohani, maupun sosial. Anak merupakan generasi muda pewaris suatu bangsa. Suatu bangsa akan menjadi kuat, Makmur dan sejahtera apabila generasi mudanya terbina, terbimbing, dan terlindung hakhaknya. Pembinaan anak merupakan tanggung jawab orang tua atau keluarga, masyarakat, sekolah dan pemerintah serta anak itu sendiri akan sangat menentukan kelangsungan hidup serta pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani, dan mental anak sebagai kader penerus perjuangan bangsa. Dalam proses pembangunan apabila tidak ada upaya perlindungan terhadap anak, maka akan menimbulkan berbagai masalah sosial dan ini akan mengganggu jalannya pembangunan itu sendiri, menganggu ketertiban dan keamanan negara. Pentingnya mempersoalkan anak disebabkan karena berkaitan dengan harta warisan. Selain itu, hukum ingin memastikan bahwa anak yang dilahirkan dari Rahim seorang ibu adalah sah, dan secara sosiologis tidak menjadi pergunjingan dalam masyarakat dengan memberi label anak haram, anak tidak sah, anak zina, dan sebagainya, yang pada gilirannya dapat memengaruhi psikologi anak tersebut. Apabila anak yang dilahirkan tidak sah, oleh seorang istri, misalnya istri berzina dengan pria lain, maka suaminya dapat menyangkal anak tersebut dengan mengajukan bukti-bukti yang cukup. Penyangkalannya diajukan kepada pengadilan untuk memberikan keputusan hukum tentang anak tersebut. Selain itu, hal ini pula telah diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan: “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Selanjutnya dalam pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Undang-Undang Perkawinan sendiri juga mengatur bahwa anak yang lahir diluar perkawinan juga haya mempunya hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, tetapi tidak menyebut tentang tidak boleh siapa ayah dari anak yang bersangkutan.
Undang-Undang Perkawinan tidak membenarkan pengakuan terhadap di luar perkawinan. Hal ini seperti yang diatur secara tegas dalam KUHPerdata dalam Pasal 287 menyebutkan dilarang menyelidiki siapa ayah dari si anak, selanjutnya di dalam pasal 288 menyelidiki ibu si anak diperbolehkan. Kedudukan anak luar kawin dalam kehidupan sehari-hari adalah serba sulit, di satu pihak karena status yang demikian oleh Sebagian masyarakat mereka di pandang rendah dan hina, di lain pihak dalam hal kesejahteraan dan hak keperdataan masih mendapatkan pembatasan-pembatasan. Sejak lahir manusia menjadi pendukung hak dan kewajiban, begitu juga sebagai pendukung hak dan kewajiban sebagaimana dengan anggota masyarakat lainnya. Karena itu, anak luar kawin juga berhak mendapatkan perlindungan hukum termasuk dalam bidang keperdataan seperti yang dapat dimiliki oleh anak-anak yang lainnya. Tidak boleh ada diskriminasi dalam hal menyangkut hak asasi manusia. Hal itu tentunya telah sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Repub1ik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa : “Semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum”. Walaupun disadari bahwa anak sebagai subjek hukum dan sekaligus sebagai generasi pewaris untuk pembangunan dan memimpin negara di kemudian hari, akan tetapi dalam kenyataannya masih banyak anak-anak yang belum menikmati hak yang semestinya mereka peroleh. Menurut ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, bahwa kedudukan anak luar kawin diatur dalam peraturan pemerintah, namun sampai saat ini belum terwujud. Hal itu berarti, sarana hukum yang tersedia bagi penyelesaian masalah anak luar kawin sampai saat ini belum memadai. Menurut Undang-Undang Perkawinan, anak yang lahir di luar perkawinan juga mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tetapi, tidak menyebut tentang tidak boleh menyelidiki siapa bapak si anak. Dan tampaknya Undang-Undang Perkawinan tidak membenarkan pengakuan terhadap anak di luar perkawinan seperti KUHPerdata yang tegas menyatakan hal tersebut (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan). Berkaitan dengan bunyi Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan sebagaimana yang diuraikan terdahulu menurt D.Y. Witanto bahwa hak dan kedudukan anak luar kawin mengemukakan bahwa bunyi pasal tersebut menimbulkan banyak penafsiran karena kalimat “dilahirkan di luar perkawinan” itu sebenarnya mengandung makna luar perkawinan itu adalah suatu kelahiran yang sama sekali tanpa adanya proses perkawinan misalnya anak yang lahir dari perzinahan atau juga termasuk dalam pengertian perkawinan yang tidak sah berdasarkan hukum agama sebagaimana diisyaratkan oleh ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, atau sebenarnya menunjuk pada proses perkawinan yang tidak didaftarkan sesuai dengan Pasal 2 Ayat (2), tiga keadaan yang disebutkan di atas masing-masing memiliki persoalan hukum yang berbeda karena jika maksudnya menunjuk pada keadaan yang sama sekali tidak pernah ada perkawinan, maka anak yang lahir dari perkawinan siri tidak boleh digolongkan anak luar kawin, karena kelahiran anak tersebut dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (D.Y. Witanto : 2012).
Untuk mengubah status anak sendiri sebenarnya dapat dilakukan dengan cara orang tua melakukan pengakuan terhadap anak tersebut. Adapun prosedur pengakuan anak yang diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang No 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang menegaskan pencatatan pengakuan anak sebagai berikut; 1. Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada instansi pelaksanaan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat pengakuan anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dan anak yang bersangkutan. 2. Pengakuan anak hanya berlaku bagi orang tuanya yang telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara. 3. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register Akta Pengakuan Anak dan Menerbitkan kutipan Akta Pengakuan Anak (Meliala, 2015 : 24).
Sumber : Jurnal Ilmu Hukum Sui Generis Volume 3 Nomor 2, April 2023