Kartu Keluarga (KK)
merupakan kartu identitas keluarga yang memuat nama, susunan dan hubungan dalam
keluarga serta identitas anggota keluarga. Spesifikasi blangko Kartu Keluarga
(KK) memuat nomor, nama lengkap, Nomor Induk Kependudukan (NIK), jenis kelamin,
tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, jenis pekerjaan, status
perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan dokumentasi
imigrasi dan nama orang tua. Munculnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 118
Tahun 2017 Tentang Blangko Kartu Keluarga, Register dan Kutipan Akta Pencatatan
Sipil mengeluarkan spesifikasi blangko Kartu Keluarga (KK) baru dengan menambah
nomenklatur baru dalam blangko Kartu Keluarga (KK). Penambahan nomerklatur baru
dalam blangko Kartu Keluarga (KK) terdiri dari tanggal perkawinan, golongan
darah dan status perkawinan.
Persoalan status
perkawinan di dunia administrasi kependudukan khususnya Kartu Keluarga (KK)
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Formulir Dan
Buku Yang Digunakan Dalam Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil terbagi
menjadi empat kategori yaitu “Kawin”, “Belum Kawin”, “Cerai Mati” dan “Cerai
Hidup”. Namun dalam perkembangannya setelah munculnya Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 118 Tahun 2017 Tentang Blangko Kartu Keluarga, Register dan
Kutipan Akta Pencatatan
Sipil, status perkawinan menjadi berubah dan terbagi menjadi lima kategori
yaitu “Kawin Tercatat”, “Kawin Belum Tercatat”, “Belum Kawin”, “Cerai Mati” dan
“Cerai Hidup”. Penggunaan Kartu Keluarga (KK) dengan format baru berlaku
setelah satu tahun terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 118 Tahun
2017 Tentang Blangko Kartu Keluarga, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil
dengan mewajibkan menggunakan aplikasi SIAK (Sistem Informasi Administrasi
Kepedudukan)
Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan
suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena perkawinan tidak saja
menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga menyangkut urusan
keluarga dan masyarakat. Pada hakikatnya perkawinan dianggap sebagai sesuatu
yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan kaidah-kaidah
perkawinan dengan kaidah-kaidah agama.
Dari segi administrasi
negara itu sendiri, Pemerintah mengatur perkawinan melalui Pasal 1
Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimana pengertian
perkawinan adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan pada pasal 2 ayat 1
UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan
adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya, ini berarti bahwa suatu perkawinan yang dilakukan telah
memenuhi syarat-syarat dan rukun agamanya maka perkawinan tersebut dianggap sah
menurut peraturan agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap calon pasangan
suami istri.
Perbedaan Status
Perkawinan pada Kartu Keluarga
a.
Kawin Belum Tercatat
Kawin belum tercatat
adalah status perkawinan yang dijelaskan pada KK, yang menunjukkan bahwa
pasangan belum memiliki surat nikah atau akta perkawinan sah. Hal ini berarti
bahwa pasangan belum melakukan perkawinan yang sah berdasarkan hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Perkawinan yang dilakukan oleh pasangan
suami istri tidak dicatatkan, dapat juga dipenuhi hak administrasinya melalui
Surat Pernyataan Tanggung Jawaban Mutlak (SPTJM) sebagai pengganti surat atau
akta nikah. Adapun dasar hukum bagi kategori keterangan perkawinan belum
tercatat yaitu, Permendagri Nomor 118 tahun 2017 tentang Blangko KK, Register
dan Kutipan Akta Catatan Sipil yang ditindaklanjuti dengan adanya pengembangan
SIAK 7 (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan versi 7) oleh Direktorat
Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri Indonesia.
Dimana setiap pernikahan/perkawinan saat ini dicatat dalam blangko keterangan
KK. Sehingga bilamana ada pasangan suami istri, laki-laki ataupun perempuan
yang mengaku sudah menikah namun tidak mencatatkan penikahan/ perkawinan, tidak
dapat menunjukkan akta perkawinan atau buku nikah, maka dalam format baru pada
blangko keterangan keluarga akan ditulis dengan status kawin belum tercatat.
Penyebabnya terjadinya
kawin belum tercatat yaitu :
1.
Multitafsir ketentuan
sahnya perkawinan
Syahnya suatu perkawinan dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur di dalam Pasal 2 yaitu: ayat (1)
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu dan pada ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tersebut menetapkan dua garis hukum yang harus dipatuhi dalam
melakukan suatu perkawinan. Ayat (1) mengatur dengan tegas dan jelas tentang
keabsahan suatu perkawinan, yaitu bahwa satu-satunya syarat sahnya suatu
perkawinan ialah apabila perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan dari mereka yang akan melangsungkan
perkawinan
2.
Pencatatan
Perkawinan
Di Indonesia meskipun sudah ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur agar perkawinan dicatatkan misalnya bagi umat
Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan
bagi orang non beragama Islam harus dicatatkan di Dinas Dukcapil. Namun dalam
kenyataannya tampaknya kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan
perkawinan masih belum sepenuhnya dilaksanakan. Di kalangan masyarakat masih
terdapat anggapan bahwa melaksanakan perkawinan cukup dengan hanya memenuhi
ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, telah memadahi dan telah menjamin keabsahan suatu perkawinan.
Pencatatan perkawinan dipandang tidak lebih dari sekedar tindakan administratif
yang tidak ada pengaruhnya terhadap keabsahan suatu perkawinan
3.
Terjadinya Perkawinan
Menurut Adat
Pada umumnya di Indonesia, perkawinan dalam
pandangan adat memiliki makna bahwa perkawinan tidak hanya sebagai perikatan
perdata, akan tetapi juga merupakan perikatan adat yang sekaligus merupakan
perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Dengan kata lain menurut hukum adat ini
bahwa suatu ikatan perkawinan bukan hanya membawa akibat hukum terhadap
hubungan-hubungan keperdataan misalnya hak dan kewajiban suami-istri, kedudukan
anak, harta bersama, hak dan kewajiban orang tua, melainkan lebih dari itu
menyangkut hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan
ketetanggaan serta menyangkut upacara-upcara adat dan keagamaan.
4.
Nikah Siri
Nikah siri diartikan sebagai nikah rahasia atau
nikah di bawah tangan. Dikatakan nikah di bawah tangan karena pada pelaksanaan
perkawinan tersebut tidak didaftarkan pada pencatatan perkawinan. Dalam nikah
sirri ini ada suatu kondisi yang sengaja diciptakan untuk tidak menunjukkan
kepada masyarakat luas bahwa di antara kedua calon suami dan calon istri tadi
telah resmi menjadi suami istri.
5.
Perkawinan Antar Agama
Di Indonesia pada hakekatnya perkawinan harus
dilakukan dalam agama yang sama, bila masih memeluk agama yang berbeda,
perkawinannya tidak bisa dicatat oleh negara. Selain itu juga masih ada
agama-agama leluhur atau penghayat yang belum mempunyai organisasi yang
terdaftar di Kemdikbud dan agama-agama diluar yang saat ini diakui sebagai
agama resmi di Indonesia.
b.
Kawin Tercatat
Pencatatan perkawinan
adalah perbuatan administrasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang dilakukan oleh instansi yang berwenang (KUA bagi yang beragama
Islam) dan kantor catatan sipil bagi yang beragama selain Islam, ditandai
dengan penerbitan akta nikah untuk kedua pasangan mem-pelai suami istri.
Pencatatan perkawinan sangatlah diperlukan agar apabila dikemudian hari
terdapat kasus hukum ataupun terhindar dari kemudharatan seperti poligami
karena bukti tertulis ini dapat memproses tindakan hukum bagi setiap persoalan
rumah tangga, terutama sebagai salah satu alat bukti sah atau legalitas dalam
pengadilan.