(0362) 25887
disdukcapil@bulelengkab.go.id
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

MAKNA DAN PERBEDAAN STATUS KAWIN TERCATAT DAN KAWIN BELUM TERCATAT PADA KARTU KELUARGA

Admin disdukcapil | 09 Desember 2024 | 438 kali

Kartu Keluarga (KK) merupakan kartu identitas keluarga yang memuat nama, susunan dan hubungan dalam keluarga serta identitas anggota keluarga. Spesifikasi blangko Kartu Keluarga (KK) memuat nomor, nama lengkap, Nomor Induk Kependudukan (NIK), jenis kelamin, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, jenis pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan dokumentasi imigrasi dan nama orang tua. Munculnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 118 Tahun 2017 Tentang Blangko Kartu Keluarga, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil mengeluarkan spesifikasi blangko Kartu Keluarga (KK) baru dengan menambah nomenklatur baru dalam blangko Kartu Keluarga (KK). Penambahan nomerklatur baru dalam blangko Kartu Keluarga (KK) terdiri dari tanggal perkawinan, golongan darah dan status perkawinan.

Persoalan status perkawinan di dunia administrasi kependudukan khususnya Kartu Keluarga (KK) dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Formulir Dan Buku Yang Digunakan Dalam Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil terbagi menjadi empat kategori yaitu “Kawin”, “Belum Kawin”, “Cerai Mati” dan “Cerai Hidup”. Namun dalam perkembangannya setelah munculnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 118 Tahun 2017 Tentang Blangko Kartu Keluarga, Register dan

Kutipan Akta Pencatatan Sipil, status perkawinan menjadi berubah dan terbagi menjadi lima kategori yaitu “Kawin Tercatat”, “Kawin Belum Tercatat”, “Belum Kawin”, “Cerai Mati” dan “Cerai Hidup”. Penggunaan Kartu Keluarga (KK) dengan format baru berlaku setelah satu tahun terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 118 Tahun 2017 Tentang Blangko Kartu Keluarga, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil dengan mewajibkan menggunakan aplikasi SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kepedudukan)

 

Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada hakikatnya perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan kaidah-kaidah perkawinan dengan kaidah-kaidah agama.

Dari segi administrasi negara itu sendiri, Pemerintah mengatur perkawinan melalui Pasal 1 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimana pengertian perkawinan adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan pada pasal 2 ayat 1 UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, ini berarti bahwa suatu perkawinan yang dilakukan telah memenuhi syarat-syarat dan rukun agamanya maka perkawinan tersebut dianggap sah menurut peraturan agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap calon pasangan suami istri.

 

Perbedaan Status Perkawinan pada Kartu Keluarga

a.                   Kawin Belum Tercatat

Kawin belum tercatat adalah status perkawinan yang dijelaskan pada KK, yang menunjukkan bahwa pasangan belum memiliki surat nikah atau akta perkawinan sah. Hal ini berarti bahwa pasangan belum melakukan perkawinan yang sah berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Perkawinan yang dilakukan oleh pasangan suami istri tidak dicatatkan, dapat juga dipenuhi hak administrasinya melalui Surat Pernyataan Tanggung Jawaban Mutlak (SPTJM) sebagai pengganti surat atau akta nikah. Adapun dasar hukum bagi kategori keterangan perkawinan belum tercatat yaitu, Permendagri Nomor 118 tahun 2017 tentang Blangko KK, Register dan Kutipan Akta Catatan Sipil yang ditindaklanjuti dengan adanya pengembangan SIAK 7 (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan versi 7) oleh Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri Indonesia. Dimana setiap pernikahan/perkawinan saat ini dicatat dalam blangko keterangan KK. Sehingga bilamana ada pasangan suami istri, laki-laki ataupun perempuan yang mengaku sudah menikah namun tidak mencatatkan penikahan/ perkawinan, tidak dapat menunjukkan akta perkawinan atau buku nikah, maka dalam format baru pada blangko keterangan keluarga akan ditulis dengan status kawin belum tercatat.

Penyebabnya terjadinya kawin belum tercatat yaitu :

1.      Multitafsir ketentuan sahnya perkawinan 

Syahnya suatu perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur di dalam Pasal 2 yaitu: ayat (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan pada ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut menetapkan dua garis hukum yang harus dipatuhi dalam melakukan suatu perkawinan. Ayat (1) mengatur  dengan tegas dan jelas tentang keabsahan suatu perkawinan, yaitu bahwa satu-satunya syarat sahnya suatu perkawinan ialah apabila perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan

2.                  Pencatatan Perkawinan 

Di Indonesia meskipun sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur agar perkawinan dicatatkan misalnya bagi umat Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan bagi orang non beragama Islam harus dicatatkan di Dinas Dukcapil. Namun dalam kenyataannya tampaknya kesadaran masyarakat  akan pentingnya pencatatan perkawinan masih belum sepenuhnya dilaksanakan. Di kalangan masyarakat masih terdapat anggapan bahwa melaksanakan perkawinan cukup dengan hanya memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan, telah memadahi dan telah menjamin keabsahan suatu perkawinan. Pencatatan perkawinan dipandang tidak lebih dari sekedar tindakan administratif yang tidak ada pengaruhnya terhadap keabsahan suatu perkawinan

3.                  Terjadinya Perkawinan Menurut Adat 

Pada umumnya di Indonesia, perkawinan dalam pandangan adat memiliki makna bahwa perkawinan tidak hanya sebagai perikatan perdata, akan tetapi juga merupakan perikatan adat yang sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Dengan kata lain menurut hukum adat ini bahwa suatu ikatan perkawinan bukan hanya membawa akibat hukum terhadap hubungan-hubungan keperdataan misalnya hak dan kewajiban suami-istri, kedudukan anak, harta bersama, hak dan kewajiban orang tua, melainkan lebih dari itu menyangkut hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upcara adat dan keagamaan.

4.                  Nikah Siri

Nikah siri diartikan sebagai nikah rahasia atau nikah di bawah tangan. Dikatakan nikah di bawah tangan karena pada pelaksanaan perkawinan tersebut tidak didaftarkan pada pencatatan perkawinan. Dalam nikah sirri ini ada suatu kondisi yang sengaja diciptakan untuk tidak menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa di antara kedua calon suami dan calon istri tadi telah resmi menjadi suami istri.



5.                  Perkawinan Antar Agama

Di Indonesia pada hakekatnya perkawinan harus dilakukan dalam agama yang sama, bila masih memeluk agama yang berbeda, perkawinannya tidak bisa dicatat oleh negara. Selain itu juga masih ada agama-agama leluhur atau penghayat yang belum mempunyai organisasi yang terdaftar di Kemdikbud dan agama-agama diluar yang saat ini diakui sebagai agama resmi di Indonesia.



b.      Kawin Tercatat

Pencatatan perkawinan adalah perbuatan administrasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan oleh instansi yang berwenang (KUA bagi yang beragama Islam) dan kantor catatan sipil bagi yang beragama selain Islam, ditandai dengan penerbitan akta nikah untuk kedua pasangan mem-pelai suami istri. Pencatatan perkawinan sangatlah diperlukan agar apabila dikemudian hari terdapat kasus hukum ataupun terhindar dari kemudharatan seperti poligami karena bukti tertulis ini dapat memproses tindakan hukum bagi setiap persoalan rumah tangga, terutama sebagai salah satu alat bukti sah atau legalitas dalam pengadilan.